Perjalanan dakwah Rasulullah SAW dalam menyebarkan kalimatullah di muka bumi tak pernah lepas dari ujian dan cobaan. Segala cacian dan cercaan datang bertubi-tubi dari orang kafir, dan tidaklah heran jika sering terjadi peperangan antara kaum muslimin yang mempertahankan aqidah mereka, dengan orang kafir yang ingin merusak agama Islam. Di antara peperangan yang terjadi yaitu: perang Uhud, perang Badr, perang Bani Qunaiqa’, perang Bani Quraidzoh, perang Khaibar, perang Bani Mustholaq, perang Hunain, perang Tabuk, perang Mu’tah, dan sebagainya.
Namun, kedahsyatan peperangan yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW dengan para sahabat beliau, atau setelah zaman Rasulullah SAW, begitu juga perang dunia pertama dan kedua, tak sebanding dengan perang melawan hawa nafsu. Perang melawan hawa nafsu jauh lebih hebat dan lebih besar dari segala peperangan yang ada. Mengapa dikatakan demikian? Untuk mengetahuinya maka kita harus mengerti hakikat hawa nafsu terlebih dahulu.
Hawa nafsu yaitu segala bentuk dorongan yang berasal dari dalam diri manusia, yang tidak hanya terbatas pada aspek moral saja, melainkan meliputi seluruh dorongan yang ada dalam diri manusia, yang terwujud dalam seluruh aktivitasnya. Hawa nafsu terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Nafsu mahmuudah, adalah nafsu yang terpuji yang selalu mendorong kepada kebaikan.
2. Nafsu lawwamah, adalah nafsu yang mudah terbawa oleh syahwat, namun masih ada kecondongan kepada kebaikan.
3. Nafsu madzmumah, adalah nafsu yang selalu mendorong kepada keburukan.
Jadi, hawa nafsu jika tidak cenderung pada kebaikan, pasti cenderung kepada keburukan. Dan salah satu metode paling jitu untuk mengendalikan hawa nafsu adalah dengan PUASA.
Puasa memiliki peran yang sangat penting dalam tazkiyyatun nafs (pembersihan jiwa), yang mana ia menduduki derajat ketiga setelah shalat dan zakat. Sebagaimana Rasulullah SAW memerintahkan untuk berpuasa bagi siapa saja yang tidak memiliki biaya untuk menikah, karena ternyata terdapat hikmah yang sangat besar di dalam puasa itu sendiri, di antaranya:
1. Puasa menyedikitkan makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut. Dan dengan sedikitnya makanan dalam perut merupakan media khusus untuk menahan syahwat;
2. Perasaan selalu diawasi oleh Allah SWT, yang menjadikan seorang hamba takut untuk melakukan maksiat yang membuat puasanya akan sia-sia. Jadi, tidak hanya sekedar menahan makan dan minum, tapi ada makna lain yang tersimpan, yaitu muroqobatullah.
Syahwatul bathn (syahwat perut, seperti makanan) dan farj (syahwat kemaluan, seperti seks) merupakan syahwat yang sangat kuat dalam membelokkan manusia dari jalan yang lurus. Dan puasa diwajibkan untuk membiasakan jiwa seseorang, untuk me-manage dua syahwat tersebut. Oleh karena itu, puasa merupakan subjek terpenting dalam tazkiyyatun nafs, dan merupakan pembiasa jiwa untuk bersabar, sebagaimana sabar adalah derajat tertinggi dari nafs (jiwa). Disebutkan dalam sebuah hadist: “Puasa adalah setengah dari sabar.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Firman Allah SWT,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, seperti telah diwajibkannya orang-orang sebelum kamu, agar kamu termasuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 183).
Allah SWT telah menjadikan puasa sebagai wasilah (perantara) untuk menuju maqam taqwa, dan taqwa sendiri sama derajatnya dengan tazkiyyatun nafs, seperti yang telah disebutkan dalam firman Allah SWT,
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams: 7-10)
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa puasa mempunyai peran besar dalam tazkiyyatun nafs. Maka dari itu, untuk meraih tazkiyyatun nafs itu sendiri harus memenuhi adab-adab berpuasa, di antaranya:
1. Ghoddhul bashor;
Yaitu menundukkan pandangan dan menahannya dari luasnya penglihatan yang dicela dan dimakruhkan, serta segala sesuatu yang menyibukkan hati dan membuat lupa dari dzikir kepada Allah. Sabda Rasulullah SAW: “Penglihatan merupakan salah satu senjata beracun iblis yang terlaknat. Dan barang siapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah akan mendatangkan kepadanya halawatul iman (manisnya iman) dalam hatinya”;
2. Hifdzul Lisan;
Yakni menjaga lisan dari perkataan yang buruk, seperti berbohong, ghibah, mengadu domba, dan sebagainya. Maka bagi orang yang berpuasa hendaklah menjaga lisannya dengan diam, dan menyibukkannya dengan dzikrullah, membaca Al-Quran, dan lain-lain. Ya, inilah yang disebut dengan puasa lisan, Rasulullah SAW bersabda, “Puasa adalah surga, apabila salah seorang di antara kalian berpuasa maka janganlah berkata kotor dan jangan melakukan hal yang dilakukan orang jahiliyyah (seperti menghina), apabila ada seseorang yang melawannya atau mencelanya hendaknya ia berkata, ‘sesungguhnya aku berpuasa, sesungguhnya aku berpuasa”.
3. Hifdzus Sam’i;
Yaitu mencegah pendengaran dari sesuatu yang tercela, karena segala sesuatu yang dilarang untuk diucapkan dilarang pula mendengarkannya. Firman Allah SWT, “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” (QS. Al Maidah: 42)
4. Hifdzul Jawaarih;
Mencegah seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa. Hal tersebut seperti tangan dan kaki dijaga dari sesuatu yang tercela, dan menahan perut dari makanan yang syubhat ketika berbuka, karena tak ada gunanya puasa yang menahan dari makanan yang halal sedangkan ia berbuka dengan yang haram, karena sesuatu yang haram adalah racun yang merusak agama. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Begitu banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan sesuatu apapun dari puasanya, kecuali lapar dan haus.”
Banyak sekali pendapat ulama tentang siapa yang dimaksud dalam hadist tersebut, di antaranya:
1. Orang yang berbuka dengan makanan haram;
2. Orang yang berpuasa dari makanan halal, tapi berbuka dengan daging manusia (ghibah), dan itu haram;
3. Orang yang tidak menjaga anggota tubuhnya dari dosa-dosa, baik itu kecil ataupun besar.
5. TaqlilutTho`am;
Yaitu tidak memperbanyak makanan ketika berbuka, sehingga memenuhi perutnya, karena tidak ada tempat yang paling dibenci oleh Allah SWT daripada perut yang penuh dengan makanan meskipun halal.
Diriwayatkan dalam sebuah hadist bahwasanya Rasulullah SAW mengisi perutnya menjadi tiga bagian; sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk air, dan sepertiga lagi untuk udara.
6. Al-Khouf wa Ar-Roja’;
Setelah berbuka ia menempatkan hatinya di antara khouf (takut) dan roja’ (mengharap) kepada Allah SWT, karena setiap orang tidak tahu apakah puasanya diterima, dan berarti dia termasuk orang-orang yang muqorrobin (dekat dengan Allah) atau puasanya ditolak, dan berarti dia termasuk orang-orang yang dibenci. Na`udzubillahi min dzaalik.
Jika seseorang mampu menahan hawa nafsunya dengan puasanya, maka dia telah mencapai tujuan utama dari diwajibkan puasa, yaitu TAQWA.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya puasa adalah amanah, maka jagalah amanah itu”
Wallahu A’lam,
Semoga bermanfaat!
Oleh: Zulaiha (mahasiswi tingkat 4, fak. Dirosah Islamiyah, univ. Al Ahgaff Banat)
Nafsu itu adalah anugerah dari Allah SWT, maka jadikanlah nafsu yang baik itu adalah baik..dan yang buruk itu buruk kendalikan dengan baik..sehingga bisa menjadikan kita tidak dikuasai oleh nafsu yang buruk….semoga bermnafaat